Minggu, 17 Mei 2020

WHO Percepat Penelitian 4 Obat Virus Corona, Ini Daftarnya

 Tiga bulan setelah pandemi virus corona baru atau COVID-19, masih belum jelas mana obat yang dapat memerangi penyakit dan mana yang tidak. Melihat hal ini, para peneliti di seluruh dunia tengah berlomba untuk menemukan obat paling cocok dalam mengatasi virus corona.
Saat virus corona merebak di China pada bulan Januari dan Februari, peneliti terus melakukan uji klinis obat dari penyakit tersebut. Namun sejauh ini, penelitian di Tiongkok belum menghasilkan cukup data dan jawaban yang konklusif.

"Banyak uji coba kecil dengan metodologi berbeda mungkin tidak memberi kita bukti yang jelas dan kuat yang kita butuhkan tentang perawatan yang membantu menyelamatkan hidup," kata Tedros Adhanom, direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam jumpa pers dikutip dari The Verge.

Dalam perjuangan untuk mencari 'bukti yang jelas dan kuat', WHO meluncurkan uji klinis multinegara yang diberi nama SOLIDARITY untuk menguji empat rejimen obat sebagai terapi COVID-19. Disamping itu, ratusan uji klinis lain sedang berlangsung dan kelompok lain pun terus menguji beberapa obat yang dipilih WHO.

Berikut rincian obat yang menjadi perhatian WHO dan peneliti.

1. Klorokuin dan Hydroxychloroquine
Kedua jenis obat ini sebelumnya dikenal sebagai obat malaria. Panel ilmiah WHO yang merancang proyek SOLIDARITY awalnya memutuskan tidak melanjutkan penelitian pada klorokuin dan hidroksi klorokuin tetapi berubah pikiran pada 13 Maret karena menunjukkan hasil cukup signifikan di beberapa negara.

Peneliti di Perancis juga telah menerbitkan studi di mana mereka merawat 20 pasien COVID-19 dengan hydroxychloroquine. Mereka menyimpulkan obat ini secara signifikan mengurangi viral load pada uji swab. Namun Society of Critical Care Medicine Amerika Serikat menyebut tidak ada cukup bukti untuk mengeluarkan rekomendasi tentang penggunaan klorokuin atau hidroksi klorokuin pada pasien COVID-19 dewasa yang sakit kritis.

Hydroxychloroquine, khususnya, mungkin lebih berbahaya. Obat ini memiliki berbagai efek samping dan dapat membahayakan jantung.

2. Remdesivir
Remdesivir adalah obat antivirus yang pertama kali dikembangkan untuk mengobati Ebola. Namun penelitian lebih lanjut menunjukkan obat ini dapat memblokir MERS dan SARS dalam sel. Tes laboratorium telah menunjukkan Remdesivir bisa menghambat virus corona baru.

Ada juga bukti anekdotal bahwa remdesivir membantu mengobati pasien COVID-19, walau tidak ada jaminan bahwa uji klinis akan menunjukkan bahwa Remdisivir bekerja lebih baik. Itulah sebabnya data yang dikumpulkan melalui uji coba WHO, uji coba adaptif, dan penelitian lain sangat penting: sebelum memberikannya kepada orang sakit secara massal, dokter harus memastikan bahwa obat itu benar-benar bekerja.

Uji coba SOLIDARITY dari WHO menyebut Remdesivir memiliki potensi terbaik untuk digunakan pada pasien. Namun pemberian dalam dosis tinggi dapat menyebabkan keracunan pada pasien.

3. Ritonavir-Lopinavir
Obat kombinasi Ritonavir-Lopinavir yang dijual dengan merek Kaltera awalnya digunakan pada tahun 2000 untuk mengobati infeksi HIV. Pada bulan Februari lalu, dokter di Thailand mengatakan mereka melihat adanya perbaikan kondisi pasien COVID-19 saat diberi kombinasi obat Ritonavir-Lopinavir.

Saat ini WHO sedang menguji kombinasi obat tersebut bersama dengan anti-inflamasi interferon beta, yang diproduksi tubuh secara alami untuk menangkal virus.

4. Ritonavir-Lopinavir dan Interferon-beta
Tim peneliti WHO, SOLIDARITY, juga akan menggabungkan dua antivirus dengan interferon-beta, sebuah molekul yang terlibat dalam mengatur peradangan dalam tubuh. Kombinasi ketiga obat tersebut sekarang sedang diuji pada pasien MERS di Arab Saudi dalam uji coba terkontrol acak pertama untuk penyakit itu.

Tetapi penggunaan interferon-beta pada pasien dengan COVID-19 yang parah mungkin berisiko. Jika obat diberikan terlambat, penyakit ini dapat dengan mudah menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih buruk daripada membantu pasien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar