Selasa, 12 Mei 2020

45 Tahun ke Bawah Boleh Beraktivitas, Usia Berapa Paling Banyak Kena Corona?

Pandemi virus Corona atau COVID-19 memberikan dampak badai PHK. Terbatasnya aktivitas sosial dan ekonomi menjadi penyebab utamanya.
Pemerintah sendiri saat ini tengah mencari titik keseimbangan agar masyarakat tidak banyak terpapar virus Corona dan juga tidak terpapar PHK. Salah satunya dengan mempersilahkan masyarakat berusia 45 tahun ke bawah untuk beraktivitas kembali.

"Kelompok ini tentunya kita berikan ruang untuk bisa beraktivitas lebih banyak lagi, sehingga potensi terkapar karena PHK akan bisa kita kurangi," kata Kepala BNPB yang juga Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo dalam konferensi pers virtual, Senin (11/5/2020).

Doni menjelaskan kebijakan tersebut diharapkan dapat membuat masyarakat memulai kehidupan 'new normal'. Namun menurut data yang dimuat dalam laman Covid19.go.id pada Senin (11/5/2020) menunjukkan yang paling banyak terkena virus Corona COVID-19 dimulai dari rentang usia 31 tahun.

Persentase kasus positif Corona di Indonesia paling banyak ditemukan pada rentang usia 46 hingga 59 tahun yaitu sebanyak 29,5 persen. Selisih 0,5 persen, rentang usia 31 hingga 45 tahun juga dilaporkan terbanyak pada kasus positif Corona yaitu sebanyak 29 persen.

Sementara persentase terbanyak lainnya ada di rentang usia 18 hingga 30 tahun dengan angka 18,8 persen. Meskipun, laporan kasus virus Corona COVID-19 di Indonesia yang meninggal terbanyak ada pada usia di atas 60 tahun yaitu 45,3 persen. Lalu menyusul di rentang usia 46 hingga 59 tahun dengan angka 39,5 persen.

Berikut data lengkap yang dikutip dari laman peta sebaran Covid19.go.id:

0-5 tahun 1,2 persen
6-17 tahun 4,3 persen
18-30 tahun 18,8 persen
31-45 tahun 29 persen
46-59 tahun 29,5 persen
60 tahun ke atas 17,2 persen

Ilmuwan Temukan Cara Cegah Risiko Fatal Virus Corona pada Kanker Prostat

Para peneliti menemukan cara yang berpotensi untuk membantu mencegah terkena virus Corona COVID-19, khususnya pada pengidap kanker prostat. Disebutkan mencegah produksi testosteron bisa turunkan risiko fatal karena virus Corona.
Studi baru yang dimuat dalam jurnal Annals of Oncology menunjukkan efek positif dari terapi yang biasa dilakukan oleh pengidap kanker prostat yaitu androgen deprivation therapies (ADT). Terapi ini bertujuan untuk membantu pria yang mengidap kanker prostat dalam mencegah produksi testosteron.

Para peneliti menemukan bahwa pria yang menerima terapi tersebut memiliki risiko lebih rendah terkena virus Corona COVID-19. Dibandingkan dengan mereka yang mengidap kanker prostat tetapi tidak menggunakan terapi, lapor IFLScience.

Mengutip Medical Daily, kanker membuat pria 1,8 kali lebih mungkin terinfeksi virus Corona COVID-19. Namun menekan produksi testosteron melalui terapi tersebut dapat membalikkan efek penyakit dan bahkan memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap virus.

Selama penelitian, pria dengan kanker prostat tanpa menggunakan terapi tersebut memiliki tingkat infeksi 0,31 persen. Namun, lebih dari 5.000 pria dengan penyakit yang sama menggunakan terapi ini memiliki risiko virus Corona COVID-19 lebih rendah.

"Kami telah menemukan bahwa mereka yang dirawat dengan terapi androgen deprivation untuk kanker prostat dilindungi, meskipun semua pasien dengan kanker memiliki risiko lebih besar infeksi COVID-19 daripada pasien non-kanker," kata Andrea Alimonti, seorang profesor di Università della Svizzera Italiana di Swiss, mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Semua pria yang memakai terapi tersebut selama penelitian dilaporkan selamat dari COVID-19. Tetapi penyakit ini membunuh seperenam pasien kanker yang tidak menerima terapi untuk memblokir testosteron mereka.

Alimonti mengatakan bahwa pria dengan gejala COVID-19 yang parah dan kanker prostat yang agresif dapat mempertimbangkan untuk menggunakan terapi ini demi meningkatkan kelangsungan hidup mereka. Tetapi peneliti mengatakan mereka harus terus memblokir testosteron mereka selama risiko tertular virus corona tetap tinggi.

Alimonti mencatat kadar testosteron akan kembali normal setelah pasien berhenti melakukan terapi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar