Minggu, 08 Desember 2019

Blockchain untuk Pemilu 2024

Tulisan ini adalah tulisan ketiga dari 3 seri artikel mengenai Blockchain. tulisan pertama dan kedua bisa diakses di sini dan di sini.

Drone Emprit Academic yang didukung oleh Universitas Islam Indonesia mencatat peningkatan tren percakapan dengan kata kunci IT KPU pada tanggal 2 Mei setelah beredar video mengenai sidak Bawaslu ke Pusat Data KPU. Dari data percakapan di Twitter yang dipantau sejak 27 April sampai 4 Mei 2019, 74%-nya adalah sentiment negatif. Hasil ini juga sejalan dengan diskusi di WAG ICSF dan AFDI serta keaktifan percakapan (engagement) di akun media @rmolco, @VIVAcoid, dan @detikcom.

IT KPU memang menjadi sorotan ketika dianggap tidak mampu berperan mendukung KPU secara maksimal sejak saat persiapan DPT, kertas suara, sampai masa perhitungan. Sebagai anggota KPPS, penulis merasakan sendiri permasalahan DPT yang tidak update meskipun telah dimutakhirkan pada Pilkada Jabar 2018, keterlambatan kotak suara sehingga pencoblosan baru dapat dimulai pukul 9.30 WIB, dan beberapa dokumen C1 yang tidak tersedia, yang pada akhirnya menyebabkan kami anggota KPPS bekerja 30 jam lebih tanpa istirahat cukup. Ditengarai karena kelelahan dan usia, salah satu rekan kami di KPPS 157 meninggal, beberapa masuk rumah sakit, yang ternyata terjadi merata di seluruh Indonesia.

Tak pelak usulan penggunakan sistem elektronik untuk Pemilu 2024 pun menggema. BPPT sejak lama telah menyiapkan sistem e-Voting dan telah diujicobakan pada pemilihan kepala desa pada 981 gelaran Pilkades. Tanda tangan digital pun dimanfaatkan sebagai sarana verifikasi identitas pemilih. Bagaimana dengan Blockchain? Menarik untuk diketahui, Blockchain telah digunakan dalam penyelenggaraan Pemilu di Sierra Leone.

Peran Blockchain

Melihat pengalaman sebagai KPPS pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, ada beberapa bagian proses pemilihan dimana teknologi Blockchain dapat dimanfaatkan. Proses tersebut antara lain pada penyusunan dan update Daftar Pemilih Tetap, kendali rantai pasokan (supply-chain) surat suara, verifikasi identitas pemilih, serta perhitungan suara.

Dijelaskan pada tulisan sebelumnya, use-case terbaik Blockchain adalah supply-chain dimana dokumen surat suara dapat dimonitor pasokannya sejak percetakan sampai distribusi di tingkat kota ke PPPS kelurahan dan akhirnya sampai ke TPS. Distribusi kembalinya dokumen surat suara setelah pencoblosan juga dapat dengan mudah dilakukan untuk memastikan kesesuaian jumlah dokumen.

Use-case lain yang telah dikembangkan adalah model Decentralized Identifier (DID) yang menggunakan framework Hyperledger Indy. DID distandarisasi oleh W3C (World Wide Web Consortium) dan menjadi dasar aplikasi digital ID seperti Civic, uPort, Sovrin, ShoCard, serta OneMe yang dikembangkan di Indonesia.

Uniknya, yang disimpan di dalam ledger bukanlah identitas personal secara langsung. Ketika terjadi permintaan verifikasi, sistem akan menghubungi server identitas seperti Dukcapil, untuk mengkonfirmasi suatu data yang dimasukkan. Konfirmasi positif dari komponen identitas inilah yang disimpan di dalam ledger yang dapat digunakan kembali untuk memverifikasi data yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar