Rabu, 04 Desember 2019

MA Sunat Hukuman Koruptor Izin Reklamasi Eks DPRD DKI M Sanusi

Mahkamah Agung (MA) menyunat hukuman koruptor izin reklamasi M Sanusi. Mantan anggota DPRD DKI Jakarta itu korupsi perizinan reklamasi Pantai Jakarta.

Kasus bermula saat KPK melakukan operasi tangkap tangan (OT)) terhadai M Sanusi. Kemudian M Sanusi diadili di PN Jakarta Pusat.

Di persidangan, M Sanusi terbukti menerima suap Rp 2 miliar dari bos Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja. Uang tersebut terkait dengan pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara (RTRKSP) Jakarta di Balegda DPRD DKI.

M Sanudi kemudian dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. Jaksa tidak terima dan mengajukan banding. Hukuman diperberat menjadi 10 tahun penjara. Duduk sebagai ketua majelis Daniel Dalle Pairunan, dengan anggota Humuntal Pane, Sri Anggarwati, Jeldi Ramadhan, dan Anthon Saragih.

Vonis itu dikuatkan di tingkat kasasi. Tidak terima, Sanusi mengajukan PK. Apa kata MA?

"Mengabulkan PK. Mengembalikan kepada putusan PN," ujar juru bicara MA, Andi Samsan Nganro saat dihubungi detikcom, Jumat (1/11/2019).

Duduk sebagai ketua majelis yaitu Prof Surya Jaya dengan anggota LL Hutagalung dan Eddy Army. Majelis menurunkan hukuman M Sanusi jadi 7 tahun penjara.

"Ketua majelis dissenting opinion (DO)," ujar Andi Samsan Nganro. DO yang dimaksud yaitu Surya Jaya tidak setuju hukuman M Sanusi diturunkan, tapi Surya Jaya kalah suara dengan anggotanya.

ICW Minta Ketua MA Atasi Soal Hukuman Para Koruptor Pesohor Disunat

Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali mengatasi banyaknya hukuman para koruptor pesohor yang disunat di tingkat Peninjauan Kembali (PK).

"Ketua MA mesti menaruh perhatian lebih pada persoalan ini, sebab sejak Hatta Ali menjabat (2012-2019), setidaknya sudah ada sepuluh terpidana korupsi yang ditangani KPK diberikan keringanan hukuman pada tingkat PK. Sebab, jika fenomena pemberian keringanan hukuman bagi pelaku korupsi terus menerus terjadi maka tingkat kepercayaan publik pada MA akan semakin menurun," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam pernyataan tertulis kepada wartawan, Selasa (5/11/2019).

Kurnia menyodorkan bukti pada survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dan ICW pada Oktober tahun lalu. Di mana MA mendapatkan kurang dari 70% dari sisi kepercayaan publik.

"Selain itu Ketua MA juga mestinya lebih selektif ketika menentukan komposisi majelis yang akan memeriksa permohonan PK dari para terpidana korupsi," ujar Kurnia.

ICW mencatat, setidaknya dalam sepuluh putusan PK yang meringankan narapidana korupsi terdapat hakim yang kerap memberikan putusan ringan. Misalnya LL Hutagalung, diketahui telah meringankan hukuman dari lima terpidana korupsi (Tarmizi, Patrialis Akbar, Rusli Zainal, OC Kaligis, dan Sanusi). Lalu Andi Samsan Nganro, yang bersangkutan diketahui meringankan hukuman dari empat terpidana korupsi (Tarmizi, Patrialis Akbar, Angelina Sondakh, dan Cahyadi Kumala).

Selain itu Sri Murwahyuni yang juga sama telah meringankan hukuman dari empat terpidana korupsi (Choel Mallarangeng, Suroso Atmomartoyo, Tarmizi, dan Patrialis Akbar).

"Selama ini publik memahami bahwa upaya pelaku korupsi untuk menghindar dari jerat hukum di peradilan cukup beragam. Misalnya saja dengan mengajukan gugatan praperadilan, hal ini disebabkan putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan penetapan tersangka masuk pada objek praperadilan. Sudah barang tentu, dengan maraknya pengurangan hukuman pada tingkat PK akan membuat pelaku korupsi berbondong-bondong mencoba peruntungannya meski tidak didukung dengan bukti baru yang cukup," sambung Kurnia.

Atas fakta di atas, ICW menuntut KPK dan Komisi Yudisial (KY) mengawasi proses jalannya Peninjauan Kembali di MA. Selain itu, majelis Hakim di Mahkamah Agung harus menolak seluruh permohonan Peninjauan Kembali dari para terpidana kasus korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar